Kamis, 27 Juni 2013

sejarah putri hijau




Sejarah putrid hijau
Kampung kecil, dalam masa lebih kurang 80 tahun dengan pesat berkembang menjadi kota, yang dewasa ini kita kenal sebagai kota Medan, berada di suatu tanah datar atau MEDAN, di tempat Sungai Babura bertemu dengan Sungai Deli, yang waktu itu dikenal sebagai “Medan Putri”, tidak jauh dari Jalan Putri Hijau sekarang.
Menurut Tengku Lukman Sinar, SH dalam bukunya “Riwayat Hamparan Perak” yang terbit tahun 1971, yang mendirikan kampung Medan adalah Raja Guru Patimpus, nenek moyang Datuk Hamparan Perak (Dua Belas Kota) dan Datuk Sukapiring, yaitu dua dari empat kepala suku Kesultanan Deli.
John Anderson, seorang pegawai Pemerintah Inggeris yang berkedudukan di Penang, pernah berkunjung ke Medan tahun 1823. Dalam bukunya bernama “Mission to the Eastcoast of Sumatera”, edisi Edinburg tahun 1826, Medan masih merupakan satu kampung kecil yang berpenduduk sekitar 200 orang. Di pinggir sungai sampai ke tembok Mesjid kampung Medan, ada dilihatnya susunan batu-batu granit berbentuk bujur sangkar yang menurut dugaannya berasal dari Candi Hindu di Jawa.
Menurut legenda, dizaman dahulu kala pernah hidup di Kesultanan Deli Lama kira-kira 10 km dari kampung Medan, di Deli Tua sekarang seorang putri yang sangat cantik dan karena kecantikannya diberi nama Putri Hijau. Kecantikan puteri itu tersohor kemana-mana, mulai dari Aceh sampai ke ujung utara Pulau Jawa.
Sultan Aceh jatuh cinta pada puteri itu dan melamarnya untuk dijadikan permaisurinya. Lamaran Sultan Aceh itu ditolak oleh kedua saudara laki-laki Putri Hijau. Sultan Aceh sangat marah karena penolakannya itu dianggap sebagai penghinaan terhadap dirinya. Maka pecahlah perang antara kesultanan Aceh dan kesulatanan Deli.
Menurut legenda yang tersebut di atas, dengan mempergunakan kekuatan gaib, seorang dari saudara Putri Hijau menjelma menjadi seekor ular naga dan yang seorang lagi sebagai sepucuk meriam yang tidak henti-hentinya menembaki tentara Aceh hingga akhir hayatnya.
Kesultanan Deli Lama mengalami kekalahan dalam peperangan itu dan karena kecewa, Putera mahkota yang menjelma menjadi meriam itu, meledak bagian belakangnya terlontar ke Labuhan Deli dan bagian depannya kedataran tinggi Karo, kira-kira 5 km dari Kabanjahe.
Pangeran yang seorang lagi yang telah berubah menjadi seekor ular naga itu, mengundurkan diri melalui satu saluran dan masuk ke dalam Sungai Deli, disatu tempat yang berdekatan dengan Jalan Putri Hijau sekarang. Arus sungai membawanya ke Selat Malaka dari tempat ia meneruskan perjalanannya yang terakhir di ujung Jambo Aye dekat Lok Seumawe, Aceh.
Putri Hijau ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat ke dalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh.
Ketika kapal sampai di ujung Jambo Aye, Putri Hijau mohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, harus diserahkan padanya sejumlah beras dan beribu-ribu telur. Permohonan tuan Putri itu dikabulkan.
Tetapi, baru saja upacara dimulai, tiba-tiba berhembus angin ribut yang maha dahsyat disusul oleh gelombang-gelombang yang sangat tinggi. Dari dalam laut muncul abangnya yang telah menjelma menjadi ular naga itu dengan menggunakan rahangnya yang besar itu, diambilnya peti tempat adiknya dikurung, lalu dibawanya masuk ke dalam laut.
Legenda ini sampai sekarang masih terkenal dikalangan orang-orang Deli dan malahan juga dalam masyarakat Melayu di Malaysia. Di Deli Tua masih terdapat reruntuhan benteng dari Puri yang berasal dari zaman Putri Hijau, sedangkan sisa meriam, penjelmaan abang Putri Hijau, dapat dilihat di halaman Istana Maimun, Medan.
___
Ada pula, versi kisah lain. Bahwa meriam ini pecah karena panas, akibat sering melontarkan peluru terus-terusan ke tentara Aceh. Sebelum menjelma menjadi meriam, Pangeran sempat berpesan kepada rakyatnya untuk menyiram meriam dengan air dingin, jika mereka melihat meriam berwarna kemerahan. Namun karena ditengah perang, Raja Aceh menebar koin emas, rakyat menjadi lupa akan keberadaan meriam yang sedang terus-terusan melontarkan peluru. Hingga akhirnya meriam menjadi merah kepanasan dan pecah.
Pecahan bagian kepala, ditemukan didataran tinggi Karo, hingga saat ini:
Dan bagian ekornya, terlontar hingga Labuhan Deli dan kini disimpan dihalaman Istana Maimun. Meriam itu, masih dalam wujud aslinya. Terbuat dari batu (unik loh, soalnya kebanyakan dan nampak terpenggal menjadi dua:
Ditempatkan dibawah sebuah bangunan menyerupai rumah adat Batak Karo (correct me if I’m wrong), pecahan meriam ini diletakkan diatas 2 buah fondasi beton dan diberi sesaji berupa air dan bunga. Nampak ada beberapa bekas hio dibakar, didekar bunga. Ah, rupanya meriam ini masih dipuja. Bisa dimaklumi, bagaimanapun dia dulu membantu Kesultanan Deli untuk menyerang musuh.
Seorang Bapak bertugas menemani meriam ini setiap hari, mulai dari jam 9 hingga sekitar 5 sore. Dari Bapak inilah kita bisa bertanya-tanya mengenai legenda Putri Hijau dan saudara-saudaranya. Atas jasanya mendongeng, kita beri tips alakadarnya. Bisa juga diletakkan di kotak sumbangan, yang tak jauh dari letak meriam.
Walau nampaknya hanya sebuah batu yang tidak berdaya, hei.. meriam ini rupanya masih memiliki ‘sisa-sisa’ kesaktian masa lalunya. Pada sekitar 1995, meriam ini berpindah tempat sendiri dan ditemukan disekitar sungai Deli (tempat saudara Putri Hijau yang menjelma menjadi naga pergi kelaut).
Saat ditemukan, meriam tidak bisa dipindahkan. Barulah setelah beberapa kerabat kerajaan sendiri yang mengangkat, meriam bersedia kembali ke halaman Istana Maimun. Setelah itupula, meriam diberi pondok kecil yang bergaya bangun Batak Karo:
Mengenai hal ini, agak seru juga yah! Budaya Melayu, di dalam halaman istana Melayu, kok diberi rumah-rumahan model Batak Karo.
Tapi, lagi-lagi meriam ini pergi ‘jalan-jalan’. Namun tidak terlalu jauh. Meriam hanya keluar dari rumah penyimpanannya yang digembok:
Yak, si meriam keluar sendiri, ke tempat yang aku tandai degan bintang pink. Dan lagi-lagi, ga bisa diangkat untuk dikembalikan kedalam rumah penyimpanan. Barulah setelah 7-10 orang kerabat kerajaan yang mengangkat, meriam mau dipindahkan. Wow, keren!
Sebuah koran lokal konon sempat memuat kisah ‘perginya’ meriam buntung ini dari ruang penyimpanannya. Sayang, aku ga berhasil menemukan datanya saat Googling, tapi beberapa kawan di Medan juga cerita mengenai kejadian ini. Keren!
Dan jika dicermati, ada lubang kecil disisi meriam (didekat tanda bintang berwarna kuning):
Katanya, jika kita menempelkan telinga didekat lubang itu, kita bisa mendengarkan suara aliran Sungai Deli. Hm, aku sih engga nempelin telingaku disana, tapi aku percaya jika aku tempelin telingaku, akan terdengar bunyi yang mirip aliran air.
Bunyi itu aku percaya sebagai hasil gerak udara yang ada di ‘tabung’ meriam. Teori yang sama juga berlaku seperti saat kita mendekatkan telinga ke kerang yang berukuran bersar. Akan terdengar bunyi, seperti debur ombak laut.
Walau ga sampe nempelin kuping, tapi saat melihat dari dekat meriam ini, apalagi menyentuhnya, ada perasaan wow.. gitu (apalagi kalo pake ngebayangin bahwa dulunya meriam ini adalah seorang Pangeran!). Susah digambarkan dengan kata-kata *lebay*, hehe.